Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Masa Lalu Melalui Musik

Saat berkunjung Maileppet di Pulau Siberut, Sumatra Barat, awalnya 1980-an, Gerard A Persoon bingung sekalian terpana atas sambutan yang diberi Asak, tetua suku. Asak menyanyikan lagu Wilhelmus, dengan bahasa di tempat, khusus buatnya.

"Bagaimanakah mungkin lagu itu dapat bertahan lebih dari 40 tahun dalam suatu pulau terasing di Indonesia, yang sudah ditinggal Belanda tahun 1942?" tutur Persoon, antropolog Kampus Leiden, dalam artikelnya di buku ini.



"Saya tidak pernah mengetahui ada versus lokal dari salah satunya lambang paling penting identitas nasional seseorang. Kenapa seorang ingin ingat sebuah lagu yang nyaris tentu sudah dipaksa padanya oleh penguasa penjajahan?"

Tidak dikenalinya Wilhelmus versus bahasa Mentawai bukan semata-mata karena kurangnya tersedianya sumber penulisan riwayat atau minimnya perhatian periset/sejarawan pada tema-tema di luar politik-kekuasaan. Tetapi, menurut Bart Barendregt dan Els Bogaerts, penyunting buku ini, karena sentimen nasionalisme ke-2  negara, yang membuat mereka memfilter ketat bukti-bukti riwayat. Mengakibatkan, teks-teks bersejarah yang ada tidak jujur. Segalanya yang berkaitan kehadiran "musuh" sedapat mungkin ditiadakan dalam -bila ada, umumnya "musuh" dicatat sebagai antagonis. Bukti-bukti riwayat seperti tatap muka musik Mentawai-Belanda juga tidak punyai tempat. Dia pada akhirnya tersapu pergerakan jaman dan terlewatkan.

Wilhelmus versus Mentawai mustahil lahir tanpa keterkaitan dengan faktor sosial-politik di zaman penjajahan. Menurut Persoon, tatap muka musik Mentawai-Belanda -dan Barat lainnya- diawali awalnya era ke-20 bersamaan masuknya visi Kristen. Beberapa misionaris Jerman, yang dipelopori A Lett, bawa repertoar lagu rohani dan nonrohani sebagai media penebaran agama. Mereka lalu mengartikan lirik beberapa lagu itu ke bahasa Mentawai supaya gampang dimengerti warga.

Dengan terciptanya tata pemerintah penjajahan di Mentawai pada era ke-20, yang terhitung terlambat dibandingkan beberapa daerah lain di Nusantara, jumlah musik Belanda nonreligi bertambah. Hubungan musik Belanda-Mentawai juga semakin intens. "Musik, lagu, lirik, irama, dan alat musik Belanda dikenalkan ke kepulauan lewat mekanisme pengajaran," tutur Persoon.

Pemerintahan mengartikan beberapa lagu ke bahasa di tempat. Satu diantaranya Wilhelmus, yang selanjutnya dipaksa sebagai lagu harus oleh pemerintahan penjajahan.

Lalu, mengapa lagu tersebut kedengar di Mentawai, sementara semenjak merdeka Indonesia buang segala hal bau penjajahan. Menurut Persoon, itu dapat muncul karena nasionalisme tidak pernah mainkan peranan berarti dalam politik lokal di Mentawai. Disamping itu, tidak ada orang Mentawai yang tersinggung oleh kumandang Wilhelmus yang keluar mulut akrab atau familinya.

Musik Hibrida

Seperti Wilhelmus dalam masyarakat Mentawai, tamburu (drum Buton) dan drumer dan adat permainan drumnya jadi pertanda tatap muka musik etnis di Indonesia-musik Belanda sempat terjadi di Buton, Sulawesi Tenggara. Tamburu tidak cuma membuat bertambah khasanah musik Buton, yang saat itu telah kaya dampak luar, tetapi juga memengaruhi aspek kehidupan lain di luar seni musik.

"Dampaknya merentang dimulai dari ada versus bambu dari instrumen-instrumen asing dengan bahan kuningan, praktik-praktik yang biasa ada di Asia Tenggara, sampai adat yang disebutkan tongkat gema o-ore yang sekarang jadi sisi masih tetap ansambel diatonis," catat Miriam L Brenner, etnomusikolog alumnus Kampus Utrecht, dalam esainya di buku ini.

Cerita tatap muka musik Buton-Belanda berawal tidak lama sesudah kehadiran VOC pada era ke-17. Buton dan VOC lalu beraliansi menjatuhkan supremasi Makassar, tetapi pada akhirnya pecah di tengah-tengah jalan. Saat Antonio Van Diemen memegang gubernur jenderal, jalinan VOC-Buton lebih buruk. Buntutnya, VOC mengalahkan Buton (1637). Van Diemen dan pasukannya rayakan kemenangan itu dengan long march ke bukit di dekat ibu-kota kerajaan. Sejauh perjalanan, serdadu-serdadu VOC menabuh drum. Selainnya untuk jaga irama barisan dan pertanda sebuah perintah, beberapa suara drum berperan mengancam faksi lain.

Sultan Buton La Elangi berkesan oleh dampak intimidatif suara drum-drum itu. Ia lalu putuskan memakai drum -dan bendera- untuk seremoni-seremoni militer kesultanannya.

Van den Berg, linguis yang bekerja di keraton Kesultanan Buton, mendokumentasikan seremoni kesultanan pada 1937, Raraja Hadji. Menurut dia, sejauh acara, drumer tamburu selalu didampingi alifirisi (pembawa bendera) dan letunani (pembawa tombak). Beberapa drumer tamburu menabuh tamburunya memakai stik tipis -yang peluang besar- berpenampilan Eropa. Mereka menggendong tamburunya dengan tali pengikat yang digantungkan di bahu atau diikatkan di pinggang (serupa marching band). Irama dan warna suaranya ciri khas musik militer.

Bremmen tidak menerangkan proses awalnya kelahiran tamburu. Bagaimana sultan pertama kalinya memperoleh tamburu dan bagaimana proses duplikasinya masih gelap.

Pertanyaan krisis seirama dilemparkan Sumarsam, profesor Musik di Wesleyan University, Connectitut, pada musik hibrida Indonesia-Belanda. Dalam esainya, ia misalkan menanyakan bagaimana suara -alat musik- Eropa dapat masuk ke ansambel gamelan keraton (gendhing mares) atau kelompok tepian (tanjidor); apa itu sisi dari diskusi budaya semata-mata, domestifikasi oleh beberapa pejabat keraton, atau ada elemen pemaksaan dari penguasa penjajahan. Yang jelas, proses kelahiran dan dari hasil tatap muka musik Indonesia-Belanda berbeda di setiap tempat. Hal tersebut, menurut Sumarsam, berkaitan erat dengan peranan riwayat regional, jalinan kekuasaan, dan sikap beberapa musikus yang dibuat oleh keadaan budaya dan riwayat semasing.

Mengerti Lebih Jauh

Beberapa sejarawan sekian tahun akhir-akhir ini mulai mengeruk lebih jauh bukti-bukti riwayat musik di Hindia Belanda. Mereka tidak lagi semata-mata pergi dari teori post-kolonial atau beberapa sumber sah, tetapi juga beberapa sumber alternative seperti memori, catatan beberapa wisatawan, pelacak, petinggi pemerintahan, atau pakar bahasa.

Di Indonesia, timbulnya angkatan muda yang sadar riwayat -tak kembali terkungkung sentimen nasionalisme- buka kesempatan untuk dekonstruksi penulisan riwayat yang sejauh ini politik-sentris. Sudut pandang budaya-musik berpotensi untuk tutup sela kosong itu.

Dengan sudut pandang budaya-musik, buku ini memberikan kita konsumsi pengetahuan riwayat kehidupan warga zaman penjajahan lebih utuh. Bukti-bukti mengenai dunia musik, lanjut Bart dan Els, "tawarkan sebuah prisma yang bermanfaat untuk mempelajarai proses menyumbang dari kontrol dan penganiayaan yang demikian ciri khas dari warga penjajahan."

Tetapi, entahlah karena ketidaktersediaan data, kebatasan ruangan, atau factor lain, tulisan-tulisan dalam buku ini kurang komplet dalam menyuguhkan proses tatap muka musik Belanda dengan musik etnis di Nusantara. Bagaimana tanggapan awalnya warga di tempat -yang terang tidak semua menyongsong baik- pada "penjajahan" melalui seni musik nyaris tidak mendapatkan perhatian.

Posting Komentar untuk "Mengenal Masa Lalu Melalui Musik "